Monday, May 24, 2010

Sedih Yang Tak Berujung...

“Put, sebenarnya dari dulu, aa ngga pernah sayang sama kamu. Aa Cuma sayang sama Yolla,” Satria memandangku haru saat mengucapkan kalimat itu. Aku hanya bisa terdiam terpaku sambil menitikkan air mata setetes demi setetes. Satria lalu beranjak dari tempat duduk yang sedang kami duduki. Di depan kelas X.1 ini, pertama kalinya ia menghampiriku dan menyatakan perasaannya padaku. Sekarang ia berpamitan. Bukan kalimat yang biasanya ia lontarkan padaku, seperti “Sampai besok, yank” atau “Aa sayang sama kamu, yank”, tetapi “Selamat tinggal”. Lalu ia berjalan, melangkah pelan dan pergi dengan memunggungiku. Aku tak tahu, apa ia juga merasakan apa yang aku rasa sekarang.

Air mataku terus mengalir, seperti tidak ada lampu merah untuk kesedihanku ini. Aku tidak bisa memerima kenyataan ini. Suara gemuruh tiba-tiba datang, awan menjadi gelap, dan air hujanpun turun, membasahi tubuhku.
“Cinta emang kejam, Put”, ujar Bahjatul, sahabat karibku. Ia memberikan jaketnya padaku. Aku tetap menggigil kedinginan. Aku hanya bisa menunduk, terpaku seperti kayu yang tak bernyawa. Rasanya aku ingin sekali bertanya kepada langit, “Mengapa ini terjadi padaku?”. Lalu Bahjatul memelukku, “Put, ngga selamanya cinta bisa bikin kita bahagia”, ujarnya dengan lembut. Bahjatul adalah salah satu sahabatku yang lebih senang memilih untuk men-jomblo.

Keesokan harinya, aku masih merasakan hal yang sama, sepertinya sedihku ini tidak akan pernah ada ujungnya. Sepulang sekolah, aku dan Bahjatul mencari bahan tugas di internet. Kami ng-net di Star-net ( salah satu warung internet yang letaknya tak jauh dari sekolah kami ). Tanpa sengaja, aku melihat Satria, dan hatiku memaksaku untuk berbicara dengannya. Lalu aku menghampirinya perlahan. “A, apa benar, selama ini aa cuma sayang sama Yolla? Terus selama ini kita jadian, aa ngga pernah sayang sama aku?”, tanyaku padanya. “Iya!”, Satria menjawab pertanyaanku dengan tegas. Aku sangat terkejut, dan aku tak mampu menahan air mata. Dengan air mata yang menitik, aku pergi meninggalkan warnet itu.

Malam harinya, aku mencoba mengingat kenanganku bersama Bahjatul. Saat kami pergi bersama, melakukan wisata kuliner, dan hal-hal menarik lainnya. Ya…setidaknya, ingatan itu dapat membuatku melupakan Satria untuk sesaat. Ya, hanya sesaat! Aku memandangi langit-langit kamarku sambil sesekali menitikkan air mata.
Tidak ada yang tahu, betapa aku sangat kehilangan Satria. Dan aku terlalu pengecut untuk memintanya agar mempertahankan hubungan kami yang sudah sangat rapuh itu. Aku hanya bisa berusaha menjalani semuanya dengan lapang dada. Aku selalu berpikir, bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku adalah takdirku yang diberikan oleh-Nya. Mungkin Tuhan tidak berkehendak dengan hubungan kami. “Tapi, mengapa harus begini? Mengapa ia tak jujur dari awal? Mengapa ia harus menipu perasaannnya sendiri?”, tanyaku dengan sangat sesal. Selama ini aku merasa kami cocok dan kami saling menyayangi. “Tapi, mengapa kenyataannnya tidak?”
Aku mengatur nafas sejenak, yang mulai sesak karena tangis. Tak ada lagi dering telpon atau sms cinta yang Satria kirim padaku. Aku mencoba menghilangkan air mataku dan mencoba untuk memejamkan mata. Tapi, tetap saja aku tidak bisa tidur. Berharap hanphone-ku berbunyi, karena telpon atau sms darinya. Namun, ternyata semua itu hanya khayalku.
Lalu aku memaksa tubuhku beranjak dari tempat tidur, mengutak-atik HP dan mendengarkan NSP ( Nada Sambung Pribadi ) di HP Bahjatul.

Ingin aku, kau genggam hatiku
Simpan di dalam lubuk hatimu
Tak tersisa, untuk diriku
Habis semua rasa di dada
Selamat tinggal
Kisah tak berujung
Kini ku kan berhenti berharap
Perpisahan kali ini untukku
Akan menjadi kisah
Sedih yang tak berujung

Ternyata, ia memasang “Sedih tak berujung” milik Glenn ♫♪♫♪♫. Aku mendengarkan lagu itu berulang-ulang. Dan lama-kelamaan, aku menyadari, bahwa lagu itu benar-benar mengisahkan kisah cintaku. Karena sudah berkali-kali aku menelponnya, lalu Bahjatul mengirim pesan padaku. “Ada apa, Put?”, tanyanya. “Aku masih merasa sakit, Bahjatul. Kenapa harus aku?”. “Put, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Semua pasti ada hikmahnya. Dan…lebih enak nge-jomblo kaya aku gini!”. Aku tak mampu lagi membalas smsnya.

Di sekolah, tak sepatah katapun yang dapat kuucapkan. Rasanya lidahku terkunci rapat dan tak ada satu orangpun yang mempunyai kunci itu. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Yolla. “Yoll, kamu tahu ngga?”. “Apa? Kamu masih baik-baik aja kan sama Satria?”, tanyanya dengan senyum. “Ngga Yoll, semuanya udah selesai”, ujarku dengan nada merendah. Yolla menepuk punggungku. Dia terus menemaniku selama jam pelajaran. Lalu aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab semua ini. Ia meminta maaf padaku, tapi maafpun tak cukup untuk mengembalikan Satria ke sampingku.

Seminggu telah berlalu, tapi, pikiranku belum bisa lepas dari ingatan Satria. Dia adalah seorang laki-laki yang selalu perfect di mataku, dan aku takkan pernah mampu untuk melupakannya begitu saja. Hari ini adalah hari ulang tahun Yolla. Aku dan Bahjatul membicarakan hal itu, saat kami bermain di Timezone.”Put, udahlah… Mau sampai kapan kamu diemin Yolla? Apa Yolla tahu, kalau Satria selama ini ngebohongin kamu?. “Tapi Tul, ini tuh lebih ngga adil buat aku!!”. “Ya, aku ngerti perasaan kamu, tapi satu yang aku minta. Please, lupain masalah ini dan coba buka hati kamu buat orang lain, Put”. “Baik, aku akan coba itu”, jawabku dengan ragu.
Setelah lama bermain, kami memutuskan pergi ke Toko Kaset untuk membeli kaset Glenn. Dalam perjalanan ke Toko Kaset, kami bertemu dengan Yolla. “Loh, Yolla! Lagi apa disini? Hayooo, sama siapa?”, tanya kami dengan usil. Tiba-tiba reaksi wajah Yolla langsung berubah. Ia seperti orang yang sedang gugup dan cemas. “E..e…eng..engga kok!! Engga sama siapa-siapa. Maaf, aku duluan ya!”, jawabnya sambil terburu-buru pergi. Tak terlintas sedikitpun kecurigaanku terhadap sikap Yolla.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Toko Kaset, aku melihat Yolla dengan Satria. Mereka bergandengan tangan! Disitu, aku merasa menjadi wanita yang sangat bodoh. “How could it be??”, tanyaku dalam hati. Aku terlalu bodoh untuk dihianati mantan kekasih dan teman curhatku sendiri! Tadinya sempat terlintas di benakku untuk meminta maaf kepada Yolla, namun sekarang aku rasa, itu tidak perlu. Akupun beranjak pergi dari tempat itu. Dan sejak itulah, aku bertekad untuk melupakan Satria dan menghapus semua tentangnya dari kehidupanku, begitupun dengan Yolla!

PS : Cerita di atas cuma cerita pendek hasil karya gue. Gue suka ceritanya dan terbukti gue dapet nilai 98 di pelajaran Bahasa Indonesia kelas 2 SMA gara gara bikin ni cerpen. Wkwkwkwkwk.

0 comments:

Post a Comment

 

Life is Practical but so Classical © 2008. Design By: SkinCorner